World Heaven

Rabu, 27 Agustus 2014

TO: MY SISTER

Untuk adikku yang (sesungguhnya sangat) ku sayangi.

Aku selalu kesulitan untuk mengatakan dan menunjukan kasih sayangku di hadapanmu.
Tapi dengan tulisan, ku rasa ini cara terbaikku untuk menunjukkannya, apa yang tidak dapat aku katakan.
Ketika aku masih berusia 6 tahun, tepat tiga hari setelah ulang tahunku kau pun lahir. Awalnya ketika Ibu mengatakan bahwa aku akan mempunyai seorang adik, aku sangatlah khawatir. Tapi ketika kau lahir, aku berusaha menerimamu.


Di awal usiamu, kau hampir membuatku jengkel dengan segala tingkah lakumu. Dimulai saat Ibu menyuruhku untuk menjagamu ketika Ia sedang ada urusan, dan kau berulah. Kemudian ketika hari ulang tahun pertamamu dan kita merayakannya bersama, kau pun berulah lagi. Setelah kau mulai mengenali lingkungan, kau selalu ingin ikut kemana pun aku pergi, kau bahkan mengikutiku hingga ke sekolahku. Namun, ada saat dimana kau hampir membuatku menyesal telah mengabaikanmu, saat aku mengatakan "Aku tidak mau berteman denganmu." dan kau langsung merengek dan menangis memintaku untuk berteman denganmu. Saat itu aku lah satu-satunya teman yang kau punya. Juga saat dimana kau memintaku untuk mengajakmu bersepeda ketika aku akan bersepeda dengan temanku. Aku marah dan meninggalkanmu di depan rumah, hingga akhirnya ketika aku pulang, Bapak memberi tahuku bahwa kau menungguku hingga tertidur di depan rumah. Aku sangat terkejut. Meskipun begitu terkadang aku masih kesal dengan tingkahmu yang menyebalkan. Seperti kau selalu meminta barang yang sama denganku, kau selalu mengejekku karena nilai matematikaku, kau bahkan mengadu kepada Ibu tentang siapa laki-laki yang aku sukai.

Ketika aku bertambah dewasa, aku begitu khawatir denganmu, bukan karena hal-hal menyebalkan yang kau lakukan. Aku khawatir bagaimana kau mulai menapaki dunia luar, aku khawatir ketika kau mulai melangkah seorang diri (tanpaku yang menggandeng tanganmu atau menggendongmu), aku khawatir bagimana orang akan memperlakukanmu, aku khawatir tentang kesehatanmu yang memburuk karena kau menyukai jajanan luar, aku bahkan khawatir meskipun sekarang kau sudah berusia 12 tahun.

Aku harus benar-benar membiarkanmu seorang diri, ketika aku harus tinggal di kota lain karena pendidikan. Begitu sulit untuk melepasmu, aku takut kau akan menemui saat-saat sulit ketika aku tak lagi disampingmu, bahkan meskipun kau bisa menghadapinya.

Malam pertama aku meninggalkan kota ini, malam pertama aku tidur di kasur baruku, aku menangis sepanjang malam. Kau memberitahu Ibu jika kau sakit, aku semakin ingin menangis. Bahkan ada sesuatu yang menusuk tenggorokanku ketika aku menelponmu. Itu saat-saat yang berat.

Kini kau sudah di bangku SMP, kelak kau akan segera menyusulku untuk merantau. Ku harap kau akan pergi ke kota dimana aku tinggal, agar aku dapat tetap menjagamu.

Sabtu, 02 Agustus 2014

WE ARE FAMILY


Hallo semua, selamat sore!
       Lama tak bersua, sebelumnya fiki minal aidzin wal faidzin ya, maafkan semua kesalahan fiki baik yang disengaja maupun tidak disengaja. postingan fiki hari ini adalah tentang kekeluargaan. Kenapa kekeluargaan? kenapa tidak keluarga saja? tentu saja berbeda, keluarga sudah pasti memang keluarga kita dan pastilah memiliki kekeluargaan. Tapi kekeluargaan belum pasti karena ada ikatan keluarga diantaranya. That's the point! diantara kami memang tak ada ikatan keluarga, namun kami menciptakan dan memiliki suasana kekeluargaan diantara kami.
      Banyak orang berkata, kalau kita akan menemukan, mengalami, dan merasakan banyak hal istimewa di masa putih abu-abu. Ya, hal itu benar. Berbeda di masa smp maupun kuliah, masa sma adalah masa-masa dimana seseorang berada diantara ribuan pilihan. Pada masa itu mereka diharuskan memilih mana yang akan menjadi jalan mereka selanjutnya. Tidak hanya itu, mereka juga dituntut untuk mengenal dan benar-benar mengetahui siapa mereka, ini yang disebut jati diri. Sehingga, setiap hal yang mereka alami dan lalui akan terasa berbeda dan berkesan.
      Awal pertemuan kami (S.O.S) mungkin sama dengan pengalaman bertemu orang baru yang dialami orang pada umumnya. Namun, kami sendirilah yang memutuskan untuk tidak sama dengan pengalaman banyak orang umumnya, Kami memilih cara kami sendiri untuk menjadikan kelas kami sebagai keluarga. Dimulai pada saat kami masih kelas sebelas, kami seperti asing satu sama lain, kalaupun akrab kami seperti berkubu-kubu. Suatu ketika kelas kami dipindahkan ke ruangan lain (the most strategic place ever). Disitulah kemudian kami membuka sesi heart-to-heart . Seseorang diharuskan mengemukakan perasaannya pada tiap-tiap anak di kelas kami. Awalnya banyak diantara kami yang jengkel ketika namanya disebut oleh anak yang berada di depan dan mengemukakan kesan jeleknya. Namun, itulah awal perubahan kelas kami. Fortunately, kami semua cepat sadar mengatasi keadaan sosial di kelas kami dan sebagai social student kami dituntut untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Masing-masing dari kami merubah hal yang bad menjadi hal yang good. Sejak itulah banyak senyum yang tersebar di kelas kami, bahkan kami mulai berani menunjukkan Crazysyndrome yang kami derita. 
    

    
    Banyak hal kami lewati bersama, di tahun pertama kami bersama, kami melakukan banyak hal bodoh, seperti jajan di kantin ketika kelas berlangsung sambil menunggu guru, membawa sepiring mie goreng dan segelas ice milk ke dalam kelas (A'am paling sering melakukan ini), berebut pc di perpustakan hanya untuk online (Aku, Fais, Pepi, Brikop, dan Rizki yang paling sering berebut), menjemur kaos kaki di pagar taman depan kelas (sungguh aku tidak ikut dalam hal bodoh ini), tidur di masjid yang terletak di belakang kelas kami ketika kelas mulai membosankan, dan mengerjakan lagu yang ditugaskan oleh guru musik kami (kami pernah mendapat masalah besar di kelasnya). Hal menyebalkan yang terjadi di kelas sebelas adalah ujian solfegio dan vocal group, yang merupakan  tugas dari guru musik kami. Itu menjadi menyebalkan karena kami (mungkin hanya aku) harus membaca sederetan bahkan berbaris-baris not yang terlihat seperti rumus matematika. Tidak hanya itu, aku yang merupakan a girl with easy to laugh habit sangat susah untuk lolos ujian ini bahkan aku hanya lolos tahap 1 (Puji harus aku salahkan dalam hal ini, ia yang membuatku tertawa selama ujian) dan tidak hanya itu vocal group juga menjadi menyebalkan ketika aku seperti berada di kelompok yang salah (tidak ada pemilik suara sopran maupun tenor dalam kelompok kami) dan lagu terpilih untuk kelompokku adalah.....Alusia Au. Kuharap ini menjadi lagu terakhirku dalam vocal group dan tidak! ternyata aku mendapatkan lagu ini lagi di kelas berikutnya. Oh iya pada kelas sebelas kami masih terikat dengan ekstrakulikuler. Mayoritas kami memiliki ekstrakulikuler yang sama, yang perempuan mengikuti kelas instrumen musik tradisional dan laki-laki mengikuti kelas olahraga. Itu adalah hal-hal yang terjadi pada kelas sebelas, pada tahun pertama kebersamaan kami.
       


     Kemudian pada kelas dua belas, kami mulai mengalami hal-hal yang mengharukan, namun hal-hal bodoh tetap tidak kami tinggalkan. Pada kelas dua belas, kelas kami tidak lagi terletak in the most strategic place melainkan in the worst place. Ya, kelas kami sangat dekat dengan ruang guru, ruang infokom, dan uks. Bahkan tidak sampai lima menit yang dibutuhkan oleh seorang guru untuk berjalan ke kelas kami. Di tahun kedua kami, kami mulai mendapatkan kelas tambahan dan lebih dimanjakan :). Tak ada yang salah dengan kelas tambahan, kelas tambahan menjadi salah ketika subjeknya adalah MATEMATIKA. Di tahun inilah kami mulai mengetahui bahwa diantara kami memiliki satu kesamaan yakni Math Phobia. Para penakut matematika ini sangat ketakutan ketika sosok guru matematika mulai terlihat berjalan ke kelas kami. Pergantian anggota organisasi kelas terjadi di kelas dua belas, ketua kelas kami yang semula Rizki diganti menjadi Agus. Sehingga beberapa kebijakan kelas juga diganti, diantaranya sistem duduk yang ditentukan secara acak oleh kertas yang diundi. Tentu saja ini menjadi hal yang buruk ketika kami mendapat bangku depan tepat saat kelas matematika (Aku mengalaminya berkali-kali). Di kelas ini pula pernah terjadi perang dingin diantara para siswi, yang kemudian ditangani dengan mengadakan meja bundar. Oh iya, di kelas dua belas kami hanya mendapat kelas musik se semester dan kemudian dilanjutkan oleh kelas tari. Kelas inilah yang turut mempererat hubungan kekeluargaan diantara kami. Kami berlatih dance bersama, begadang bersama untuk menyelesaikan panggung pentas kami selama semalaman, bahkan beberapa siswi harus menginap di rumah siswi lainnya demi pentas ini. Sesungguhnya banyak hal yang kami alami bersama namun yang paling kami ingat adalah ketika kami berjuang bersama. Kami harus membawa bekal makan siang untuk kelas tambahan, kami menahan rasa kantuk kami bersama di kelas tambahan akhir, kami ketakutan bersama menunggu bel berakhirnya kelas matematika, kami tertawa bersama ketika sesungguhnya kami ingin cepat-cepat mengakhiri semua ini. Kelelahan kami bukanlah alasan untuk kami saling diam. Justru ketika kami lelah, kami akan tertawa satu sama lain dengan harapan saling berkurang beban di masing-masing pundak kami. Dan perjuangan bersama kami selesai di hari terakhir UN.
      Hari itu kami mulai diam, sedikit tawa untuk mengecoh keadaan yang sebenarnya terjadi, sedikit sapaan untuk tidak membuat keadaan semakin buruk. Sungguh, akhir ini yang tidak kami harapkan, selesainya perjuangan kami menandai selesainya pula kebersamaan kami di satu ruang yang sama. Kami harus berjalan di jalan kami masing-masing, entah bersama dengan beberapa, atau kami berjalan seorang diri. Kami mulai menyumpahi jalan raya yang begitu panjangnya memisahkan kami, menyalahkan air sungai mengapa harus memperpanjang jarak kami, merutuki langit dan awan yang tiba-tiba menjadi lebih luas akhir-akhir ini. Ini sungguh bukan kemauan kami. Meskipun begitu, kami tetap saling menguatkan satu sama lain. Berpura-pura tegar untuk menegarkan yang lain. Setidaknya kami masih satu bumi, satu surya, dan satu bulan. Hanya itu kesamaan kami yang membuat kami yakin, bahwa kami masih bersama.